KITA (Intellectual unity of Response Action/kesatuan intelektual tanggap aksi)

assalamu'alaikum,wr wb.
selamat datang di blog KITA(Intellectual unity of Response Action) semoga informasi nya bermamfaat...!!!

Yang KITA butuh kan bukan solusi-solusi(KOMENTAR) tapi rakyat butuh aksi,(EKSEKUSI)

Jumat, 06 Februari 2009



ARAH PEMIKIRAN ISLAM


PERKEMBANGAN pemikiran Islam senantiasa menarik untuk diamati sebab dari perkembangan pemikiran itu dapat dilihat bagaimana corak pergerakan dan cara pandang keagamaan yang sangat memengaruhi kehidupan sosial, politik, dan budaya umat Islam. Terlebih lagi, jumlah umat Islam di Indonesia sekarang ini sudah mencapai jumlah kurang lebih 90 persen dari total penduduk. Oleh karena itu, perkembangan pemikiran Islam tentu sangat berpengaruh pada situasi dan kondisi Indonesia.

Bila kita lihat ke belakang, akibat intensnya persentuhan umat Islam dengan politik kekuasaan dan perebutan kekuasaan pada masa dan pasca-Dinasti Abasiyah dan Umayah, perkembangan pemikiran Islam itu menjadi stagnan. Terlebih lagi, setelah daerah kekuasaan Islam banyak yang jatuh ke tangan bangsa kolonial lewat Perang Salib ataupun perang saudara. Untuk mengatasi keadaaan yang semakin terpuruk itu, saat itu para ulama menyerukan agar ijtihad diberhentikan. Alasannya, jika perbedaaan pemahaman keagamaan diteruskan berlanjut, umat Islam semakin terpuruk karena terjadi perang saudara. Pada akhirnya, fikih boleh berkembang dibatasi hanya pada 4 (empat) mazhab: Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafii, sedangkan kalam (teologi) yang banyak dianut adalah teologi Asy'ariah dan tasawuf serta filsafat yang dijadikan rujukan adalah paham yang dibawa oleh Al-Ghazali.

Islam Indonesia

Pembaruan pemikiran Islam di Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan dengan pembaharuan di negara-negara Islam lainnya. Gerakan pembaharuan di Indonesia yang bersifat organisatoris, mulai tampak perwujudannya pada pendirian Muhammadiyah pada 1912. Alasan ber­dirinya Muhammadiyah didasari oleh kerisauan K.H. Ahmad Dahlan terhadap kehidupan keagamaan umat Islam Indonesia yang banyak menyimpang dari tradisi Islam. Hal itu tampak dari kehidupan umat yang sangat percaya pada hal-hal yang bersifat takhayul, bid'ah, dan churafat (TBC). Kondisi umat yang seperti ini, oleh pemerintah kolonial justru dimanfaatkan agar mereka menerima nasib dan tidak menuntut haknya untuk merdeka. Diilhami oleh bacaan-bacaan dari karya kaum pembaharu seperti Abduh dan Syekh Ahmad Khatib, beliau lantas berusaha untuk mewujudkan gerakan itu di Indonesia. Tentu saja, dilakukan juga modifikasi dengan kultur setempat.

Gerakan ini menyerukan pentingnya kembali ke Alquran dan Sunah. Mereka tidak mendasarkan dirinya pada mazhab pemikiran tertentu, tetapi juga bukan sebuah mazhab baru. Artinya, sejak dari awal sebetulnya gerakan ini sangat inklusif dan progresif. Selain melakukan gerakan pembaruan pemikiran, Muhammadiyah juga melakukan pembaruan terhadap sistem pendidikan, kehidupan sosial, serta tata cara hidup modern. Mereka mengenalkan sistem pendidikan yang tersistem dengan baik sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Belanda. Jadi bukan sekadar sistem klasikal kuno. Dalam bidang sosial dan keorganisasian, mereka juga mendirikan panti asuhan, amal usaha, serta rumah sakit umum. Dalam beberapa hal, langkah yang dilakukan oleh Al-Irsyad pimpinan Ahmad Sorkati dan Persatuan Islam (Persis) pimpinan A. Hasan, juga menambah geliat dinamika pemikiran Islam di Indonesia. Mereka mengkritik ijitihad ulama masa lalu yang cenderung bersifat homogen dan tidak terlalu mengurusi persoalan publik dan pendidikan umat Islam.

Gerakan pembaharuan pemikiran Islam oleh beberapa ormas yang pada awalnya sangat dinamis ini lambat laun berubah menjadi rutinitas dan terkena godaan politik. Terlebih lagi, pada era demokrasi liberal tahun 1950-an, beberapa ormas tampak jelas mendukung partai politik tertentu. Muhammadiyah dan NU pada masa pendirian Masyumi, aktif menjadi anggota kehormatan partai tersebut. Mereka pun, sibuk berlomba mencari kekuasaan dan mengincar kursi anggota Konstituante dan Menteri. Langkah NU yang menjadi partai dan ikut dalam ajang Pemilu 1955 serta Muhammadiyah aktif berkampanye untuk Masyumi, semakin menyeret ormas ini ke dalam tarikan politik praktis.

Akibatnya, kerja-kerja pembaharuan pemikiran keagamaan menjadi stagnan. Hal itu misalnya Muhammadiyah yang hanya bersibuk diri mengawetkan doktrin pemberantasan TBC-nya, serta terus giat mendirikan lembaga pendidikan dan amal usaha tanpa terlalu memikirkan kualitas dan pemihakannnya pada orang miskin. Dan rakyat pun diajak untuk membela partai Islam dengan fatwa bahwa orang Islam haruslah memilih partai Islam. Dengan begitu, energi kehidupan umat dikerahkan semua ke urusan politik harian tanpa sedikit pun diajak berpikir untuk memajukan pendidikan dan kualitas agama Islam ketika berhadapan dengan tantangan zaman.

Dalam kondisi seperti itu, kehadiran ide baru pembaharuan pemikiran dari pemikir Islam tahun 70-an seakan memberi darah segar pada perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Sebelumnya, Harun Nasution muncul dengan ide neo Mu'tazilah dan Islam rasionalnya. Menurutnya, agar umat Islam maju, mereka harus berani meninggalkan teologi Asy'ariyah yang cenderung menyebabkan orang untuk bersikap jabariyah (menerima begitu saja) nasib dari Tuhan. Selain itu, Harun juga menyatakan, bahwa Islam tidak hanya terdiri dari satu aspek saja (fikih), seperti yang selama ini dipahami orang, namun Islam juga terdiri dari berbagai aspek. Dari berbagai aspek itu, ayat-ayat Alquran yang bersifat qath'i (pasti) bila dijumlah lebih sedikit dari yang bersifat dzanni (samar). Oleh karena itu, Islam haruslah dipahami secara rasional dan menyentuh banyak aspek publik (Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, 1990).

Selain Harun, gerakan pembaruan Nurcholish Madjid mulai muncul di publik pada tahun 1970 dan 1972 dalam ceramahnya yang berjudul "Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan". Sebetulnya, gerakan ini sudah pada awalnya bersemai di Yogyakarta dengan para tokohnya seperti Ahmad Wahib, Djohan Effendy, Dawam Rahardjo, dan aktivis HMI lainnya yang berkumpul dalam "Limited Group" di bawah asuhan Mukti Ali. Namun yang terkenal sebagai tokohnya adalah Cak Nur sebab beliau secara tidak langsung adalah Ketua Umum PB HMI yang berdomisili di Jakarta.

Dalam tulisannya itu, Cak Nur mengkritik pola pikir tokoh Islam yang cenderung ingin membawa semua aspirasi umat Islam dalam politik dan mereka juga dengan seenaknya menyamakan Islam dengan politik Islam. Oleh karena itu, beliau mengeluarkan jargon "Islam Yes, Partai Islam, No?" yang terkenal hingga sekarang ini. Cak Nur juga menganjurkan tentang perlunya liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam. Untuk melakukan itu, ilmu-ilmu pengetahuan dari Barat bisa dijadikan alat bantu analisis. Pendirian negara Islam, menurut Cak Nur juga sebagai bentuk apologia politik yang cenderung oportunis guna menutupi kekurangan dan kelemahan umat Islam. Untuk mengatasi hal itu harus ditekankan semangat dan praktik untuk mengembangkan kebebasan berpikir dan ide-ide yang bersifat terbuka dan maju. Selain itu, kelompok pembaru yang "liberal" juga mesti segera difasilitasi kelahirannya dan dikembangkan di semua tempat.

Hal yang sangat ditentang kaum revivalis atau fundamentalisme Islam dari pembaharuan Cak Nur adalah tentang anjurannya untuk melakukan sekularisasi kehidupan keagamaan dan politik umat Islam. Menurut Cak Nur, sekularisasi bukan mesti westernisasi (Barat), tetapi sekularisasi adalah pemisahan nilai ajaran inti agama yang bersifat profan dan yang sakral. Sekularisasi adalah bentuk jalan keluar dari politisasi penafsiran agama sebagaimana dilakukan oleh ulama terdahulu.

Oleh karena itu, yang wajib digalakkan oleh umat Islam adalah nilai-nilai Islam yang bersifat substansial, jadi bukan sekadar simbolisme keagamaan. Masalah jilbab, partai Islam, negara Islam, pendidikan Islam yang banyak menekankan simbolisme, menurut Cak Nur mesti segera diakhiri. Cak Nur juga menyatakan bahwa kebenaran tidak hanya tunggal milik Islam, tetapi juga milik agama-agama lain. Sebab pada dasarnya, semua agama mengajarkan jalan kebenaran untuk meraih keselamatan. Cak Nur juga menafsirkan secara liberal makna dari "Islam", "agama", "titik temu antaragama", serta "Allah". Hingga sekarang, Cak Nur tampak konsisten dengan teologi inklusif serta ide sekularisasinya.

Pembaruan Islam ala Cak Nur dan Harun Nasution, secara historis muncul bersamaan dengan menguatnya modernisasi atau pembangunan. Oleh karena itu, banyak kritik yang menganggap bahwa gerakan itu sebagai bentuk rasionalisasi dan legitimasi teologis terhadap pembangunan tersebut. Menurut mereka yang kebanyakan menjadi aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini, pembaruan tahun 70-an juga sangat elitis dan tidak menyentuh problem utama umat Islam. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana mengubah paradigam keagamaan, jadi seakan-akan yang menyebabkan masyarakat miskin dan terbelakang hanya­lah persoalan ini. Kalangan pembaru seperti Moes­lim Abdurrahman, Masdar F. Mas'udi, Kuntowijoyo, Adi Sasono, Mansour Faqih, serta M. Dawam Rahardjo mencoba memberikan alternatif terhadap pembaruan Islam di Indonesia.

Menurut mereka, yang dibutuhkan umat adalah teologi yang berpihak pada problem kemiskinan dan keterbelakangan yang diakibatkan oleh negara dan dunia pertama atas dunia dunia ketiga. Oleh karena itu, perangkat ilmu-ilmu sosial mesti juga digunakan dalam melakukan pembacaan ulang terhadap problem umat Islam di Indonesia. Jadi tidak hanya sekadar dipecahkan dengan teologi semata. Mereka merumuskan teologi yang betul-betul bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata, dialog antara teks dan konteks sosial, berorientasi praxis, dan sebagai jalan institusi kritis terhadap struktur yang melawan pesan suci agama. Penamaan itu bermacam-macam, semisal teologi transformatif, teologi populis, teologi untuk kaum tertindas, teologi perdamaian, serta ilmu sosial profetik (Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, 1995).

Dalam peta pemikiran Islam, sosok Abdurrahman Wahid dengan Nahdhatul Ulamanya setelah kembali ke Khittah 1926 pada Muktamar Situbondo 1984, tentu tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Gus Dur lah yang secara tidak langsung mengenalkan pesantren pada dunia yang luas dan memberikan mereka pendidikan-pendidikan alternatif guna menghadapi perubahan zaman. Pembaharuan Islam Gus Dur yang lebih dititiktekankan pada pribumisasi Islam adalah sebuah kritik terhadap pola pemahan simbolik umat yang begitu mengental. Gus Dur dan kawan-kawannya juga berusaha memelopori NU menarik diri dari politik praktis. Dengan pengalaman dan track record-nya di dunia LSM dan pergaulannya yang sangat luas, NU dibawa untuk menjadi mengenal paham-paham demokrasi, hak asasi manusia, hubungan antaragama, dan gagasan progresif lainnya.

Gerakan pascareformasi

Gerakan reformasi yang menumbangkan Soeharto pada 1998 sangat berpengaruh pada gerakan pemikiran Islam Indonesia. Sebab dengan dibukanya era multipartai, umat Islam banyak yang tergoda untuk terjun ke dunia politik dan meninggalkan jalur kultural. NU dan Muhammadiyah yang selama Orde Baru berkuasa terlihat konsisten bergerak di jalur kultural nyatanya juga tergoda untuk ikut berpolitik meski secara tidak resmi. Pendirian PKB dan PAN tentu tidak bisa dipisahkan begitu saja dari andil NU dan Muhammadiyah. Malahan, ketika Gus Dur menjadi Presiden RI ke-4 pada 1999, anak-anak muda NU banyak yang tergoda untuk berebut menjadi pejabat atau mencicipi kue kekuasaan meski masih ada juga yang konsisten bergerak di jalur kultural.

Begitu juga dengan Muhammadiyah hampir dalam satu dasawarsa terakhir, geliat pemikirannya belum begitu tampak. Para kader mudanya kebanyakan justru tertarik untuk mengikuti jejak seniornya menjadi pengurus amal usaha atau politisi. Para aktivis HMI yang pada tahun 1970-an memelopori pembaruan pemikiran Islam, pada dasawarsa terakhir ini juga tampak mengalami peredupan intelektual. Gagasan-gagasan Cak Nur dan Harun Nasution, akhirnya seperti hanya terwadahi dan terbatas di kalangan Paramadina dan IAIN.

Kemunculan Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tahun 2001 adalah angin segar bagi pembaharuan pemikiran Islam Indonesia. Mereka umumnya berasal dari kalangan NU, IAIN, serta HMI. Gagasan yang mereka usung sepertinya terinspirasi dari buku Charles Kurzman tentang wacana Islam Liberal. Mereka menekankan tentang perlunya penafsiran ulang terhadap ajaran Islam sehingga Islam bisa lebih mencerahkan dan membebaskan. Secara garis besar, ide mereka adalah tentang penentangan terhadap teokrasi; perlunya demokrasi; penghormatan dan pengakuan hak-hak perempuan; hak-hak non-Muslim; penekanan kebebasan berpikir; serta disemarakannya gagasan tentang kemajuan. Mereka mendeklarasikan diri sebagai lawan dari gerakan Islam fundamental. Jika dirunut ke belakang, mereka pada dasarnya adalah metamorfosis dari gerakan neomodernisme Cak Nur sebab isu-isu yang mereka ambil dari bentuk pengulangan dari yang lama serta mereka masih berputar pada bentuk wacana semata.

Selain di JIL, anak muda NU juga banyak yang mengorganisasi diri di LSM, pers, maupun pusat kajian. Dengan inspirasi Gus Dur, mereka terus aktif bergerak di jalur kultural dan intens mengembangkan wacana keagamaan kontemporer serta demokratisasi dan civil soceity. Keakraban mereka dengan ide-ide pembaruan Hassan Hanafi, Arkoun, Ali Syariati, Jabiri, Nasr Hamid, adalah sebagai bentuk perlawanan tradisi NU yang cenderung tradisional dan mengultuskan seorang kiai. Hal inilah sampai sekarang dikembangkan kalangan muda NU dengan benderanya yang bermacam-macam, tetapi isinya tampaknya serupa, semisal, Islam Emansipatoris, Islam Kiri, atau Islam Pribumi.

Di kalangan Muhammadiyah, yang mendapat perhatian selama ini sepertinya memang hanya persoalan politik dan amal usahanya. Padahal, sejak dari awal K.H. Ahmad Dahlan mendeklarasikan gerakannya sebagai gerakan keagamaan dan sosial sekaligus. Secara canggih, beliau memadukan antara ortodoksi dan ortopraksi dalam sebuah penafsiran keagamaan atau dalam istilah M. Amien Abdullah, Muhammadiyah adalah gerakan faith in action (keyakinan dalam gerakan). Atas dasar kegelisahan dan visi pendirian awal itulah, anak-anak muda yang bergerak di jalur kultural mencoba mendobrak stagnasi pembaruan pemikiran dan gerakan sosial di Muhammadiyah. Mereka membuat wadaha dengan nama Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang mulai dirintis pada akhir 2003 ini.

Gerakan mereka mendasarkan diri pada tiga pilar metode, yaitu hermeneutika Alquran, ilmu sosial kritis, dan the new social movements. Ketiga perangkat itu mereka gunakan sebagai pembacaan dan pencarian makna baru terhadap ajaran Islam untuk selanjutnya mencari gerakan sosial alternatif yang bisa membumikan konsep baru tersebut. Jadi, sesuai dengan visi Muhammadiyah, mereka akan berusaha memadukan pembaruan pemikiran sekaligus juga pembaruan dan pemihakan sosial terhadap orang-orang yang marginal.

Akhirnya, kita tentunya harus menyambut secara gembira generasi baru kaum santri yang masih peduli terhadap masa depan umat Islam ini. Goda-godaan politik praktis yang biasanya menjebak gerakan kultural haruslah dieliminasi seminimal mungkin dari gerakan ini sebab pengalaman sejarah telah membuktikan bahwa tarikan politik praktis biasanya justru malah menyebabkan stagnasi pemikiran dan terlalaikannya pencerahan terhadap masyarakat bawah. Bila Islam masih ingin tetap menjadi agama idola manusia dan visinya yang rahmatan lil 'alamin bukan sekadar menjadi wirid apologetik, pembacaan dan pemaknaan baru terhadap ajaran memang harus terus dilakukan. Teologi Islam tidak harus menjadi teologi yang mengurusi surga dan negara saja, tetapi teologi yang betul bisa mencerahkan umat dan membebaskan mereka dari kungkungan hegemoni para penindas dan kapitalisme global. Amin.wslm

by:Rasyid Ridho siregar

Kader HMI Cabang Pekanbaru(riau)

3 komentar:

cool

cool
civil

KITA

KITA