KITA (Intellectual unity of Response Action/kesatuan intelektual tanggap aksi)

assalamu'alaikum,wr wb.
selamat datang di blog KITA(Intellectual unity of Response Action) semoga informasi nya bermamfaat...!!!

Yang KITA butuh kan bukan solusi-solusi(KOMENTAR) tapi rakyat butuh aksi,(EKSEKUSI)

Sabtu, 24 Oktober 2009

Permasalahan akar rumput kasus masuji(lampung) sianak emas(sawit)sumber malapetaka.


Indonesia,SUMATRA (Riau,jambi,lampung) adalah sebuah negri yang kaya akan sumber daya alam nya sampai ada sebuah ungkapan yang sangat sensational :"Atas bawah minyak" memang ungkapan tersebut tidak berlebihan atau muluk2 kita lihat saja hampir seluruh daratan riau di tanami sawit,Usaha kebun kelapa sawit memang cukup diminati dibanding tanaman pangan seperti jagung dan padi. Di Kecamatan tandun,kabun dan ujung batu(dan hampir di seluruh daratan riau) yang mayoritas penduduknya adalah warga transmigrasi, usaha kelapa sawit dianggap lebih mampu meningkatkan kesejahteraan mereka.

"Bagi yang punya modal bisa langsung menanam, merawat dan menjual hasil kebun sendiri. Tapi yang tidak punya modal bisa bekerja sama dengan perusahaan untuk menerima hasil bersih (uang) saja,Pertanyaan sekarang adalah, apa iya hanya kelapa sawit?
Memang benar, kita juga jangan terlalu terlena dengan si anak emas kelapa sawit ini. Banyak potensi dari komoditi pertanian lain yang sebenarnya juga layak dan dapat dibandingkan dengan kelapa sawit. Jarak pagar,rosella, singkong atau pun jagung bahkan kelapa merupakan contoh potensi pertanian lain yang dapat dikembangkan menjadi bahan baku biofuel. Jika dihitung hitung, nilai ekonomis dari potensi potensi ini juga jauh berbeda, jarak pagar misalnya, dalam 1 ha dapat menghasilkan 5 ton minyak/tahunnya, sama dengan kelapa sawit bahkan jarak bisa tumbuh dalam lahan kritis sekalipun .

Pemanfaatan kelapa sawit juga memerlukan pemikiran lebih mendalam lagi, mengapa? Pada kenyataannya keuntungan yang diperoleh dari pengembangan kelapa sawit tidak sepadan dengan kerugian dan permasalahan yang diakibatkannya. Kerugian yang bersifat masif dan berbagai permasalahan yang timbul, haruslah mendapat prioritas. Berikut gambaran beberapa kerugian yang didapat dari pengembangan kelapa sawit.

a. Deforestasi Hutan
Perlu kita diketahui bahwa laju deforestasi hutan di Indonesia tahun 2005 menduduki tempat kedua setelah Brasil dengan angka deforestasi hutan primer di Indonesia mencapai 1,47 juta ha . Sehingga pantas jika kita mendapat predikat tersebut, luas hutan yang rusak di Indonesia sudah sampai pada angka 107 juta ha bahkan 70% hutan primer hilang akibat berbagai kegiatan pembukaan hutan .

Pembukaan lahan kelapa sawit di Indonesia umumnya dengan mengkonversi hutan alam yang ada dan jika hal tersebut tidak segera dihentikan, bisa jadi kita akan impor hutan dalam hitungan tahun ke depan. Hilangnya 40% dari 128 ribu ha luas hutan didaerah konservasi taman nasional Keremutan Riau, yang beralih fungsi menjadi kelapa sawit merupakan salah satu bentuk konversi hutan menjadi kelapa sawit yang merugikan. Industri kelapa sawit ikut terlibat dalam pembabatan area hutan seluas 390 ribu ha, belum termasuk 834.249 ha hutan yang telah beralih ke pemegang HPH. Kondisi serupa juga terjadi di Kalimantan Barat, mega proyek kelapa sawit yang dicanangkan pemerintah di perbatasan Kalimantan Barat dengan alih-alih mengurangi tindakan illegal logging telah menyebabkan penurunan area hutan secara signifikan. Tingkat deforestasi hutan di Kalimantan barat saat ini telah mencapai angka 73.42%.

Kecenderungan peningkatan deforestasi hutan di Indonesia harus segera dihentikan, konversi hutan untuk kelapa sawit bijaknya harus dipikir ulang. Bukan tanpa alasan jika banjir, tanah longsor, kemarau berkepanjangan hingga perubahan iklim dan pemanasan global merupakan akibat yang ditimbulkan dari deforestasi hutan, di tambah lg menjadi alasan klasik PLN Debit air tak mencukupi(aneh kan)

b. Konflik Lahan
Seperti yang sedang hangat lagi di perbincangkan saat ini yaitu kasus masuji di lampung dan itu hanya bagai penomena gunung es yang muncul ke permukaan dari sekian modus-modus komplik lahan (agria) yang tak unjung kelar dalam Pengembangan kelapa sawit juga menyebabkan terjadinya konflik antara perusahaan dengan masyarakat lokal. Salah satu konflik yang kerap terjadi yaitu perebutan lahan. sebagai contoh, kasus pengambil alihan kembali lahan seluas 4100 ha milik 1200 KK warga suku Talang Mamak, Riau dari PT. Inecda Plantation. Warga meminta tanahnya dikembalikan karena janji perusahaan untuk memberikan 1600 ha lahan kelapa sawit belum juga dilaksanakan. Kasus lain terkait perampasan lahan yaitu kasus perebutan lahan 1400 ha yang digunakan PT. Rawa Wastu Kencana untuk kebun kelapa sawit atau tuntutan pengembalian tanah ulayat warga atas perampasan yang dilakukan oleh PT. Alamraya Kencana Mas (AKM) Pamukan, Banjarmasin.

Pengalihan hak milik tanah dari masyarakat lokal kepada perusahaan industri kelapa sawit baik untuk lokasi pabrik ataupun untuk perkebunan sering menimbulkan perselisihan. Kesepakatan yang ada ternyata lebih menguntungkan perusahaan dibanding masyarakat lokal. Kondisi inilah yang memicu timbulnya konflik antara masyarakat pemilik lahan dengan perusahaan.

c. Konflik Petani Lokal
Konflik dengan petani lokal pun juga terjadi terkait dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sistem Perkebunan Inti Rakyat atau PIR untuk memberdayakan petani lokal juga tidak menguntungkan petani sepenuhnya. Kesepakatan baik pemanfaatan lahan, biaya operasional ataupun harga jual kelapa sawit ternyata tidak sesuai dengan perjanjian yang dilakukan bersama.

Berbagai kasus muncul terkait hal tersebut. Misalnya, keluhan petani Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat yang harus menyerahkan 7,5 ha lahan pribadi agar dapat menjadi anggota PIR tetapi masih dikenakan kredit dari 2 ha kebun plasma yang diterimanya dengan biaya Rp 5,6 juta/ha atau sekitar 11,2 juta/KK. Diperparah lagi dengan harga jual tandan buah segar (TBS) yang berkisar Rp 200-350 per Kg sehingga rata-rata pendapatan sebulan mereka hanya Rp 40 ribu-Rp 90 ribu. Kondisi serupa juga dialami petani plasma Kabupaten Sintang, TBS yang dijual ke perusahaan juga hanya dihargai Rp 200 per kg sehingga pendapatan mereka hanya berkisar Rp 40-70 ribu/bulan, hal tersebut juga yang mendorong warga melakukan tuntutan ke perusahaan sawit.

d. Konflik Pekerja
Permasalahan terkait pemenuhan hak normatif pekerja seperti upah atau kebebasan berserikat sering menimbulkan konflik pekerja dengan perusahaan. Kebanyakan perusahaan kelapa sawit dibangun di lokasi dengan tingkat SDM yang rendah, kondisi ini memungkinkan terjadinya praktek penyimpangan terhadap pekerja bahkan tak jarang perusahaan mengganggap mereka tidak terampil sehingga mendiskriminasikan mereka.

Sebut contoh, upah yang diberikan perusahaan PT. Agro Indomas Kalimantan, berdasarkan laporan dari DTE, pekerja hanya diberi upah Rp 10.500,00/bulan jauh lebih sedikit jika dibandingkan mereka mengolah lahan sendiri dengan hasil bisa mencapai Rp 15.000 – Rp 30.000/harinya. Atau kasus yang sempat menjadi perhatian internasional hingga laporannya sampai ke ILO, yaitu konflik pekerja di PT. Musim Mas Riau. Perusahaan berkali-kali membubarkan serikat pekerja hingga pada 13 September-16 Desember 2005 terjadi unjuk rasa dan mogok kerja serta penangkapan pimpinan serikat pekerja pada 15 September 2005. Selama aksi mogok tersebut, 3 pekerja meninggal, 1180 di-PHK dan 260 anak pekerja yang bersekolah di lingkungan perusahaan diusir serta 700 KK pekerja yang menempati rumah dinas perusahaan diusir.

e. Pelanggaran HAM
Tahun 2000, warga Bengkulu melakukan aksi pembakaran PT. Agromuko akibat proses ganti rugi yang belum juga diselesaikan. Aksi ini berlanjut dengan upaya reclaiming lahan pada tahun 2003 oleh 800 petani dari 5 desa di Bengkulu tetapi berakhir dengan bentrokan berdarah yang menimbulkan 3 korban tembak serta 5 orang ditahan polisi. Bahkan akibat aksi tersebut, perusahaan menurunkan harga beli TBS yang semula Rp 500 per Kg menjadi Rp 486 per Kg yang berdampak pada penurunan pendapatan petani. Kasus ini hanya merupakan contoh dari banyak kasus penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan.

Berbagai konflik yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat lokal sering kali dalam penyelesaiannya menggunakan tindakan datangkan tindakan yang melanggar HAM dalam penyelesaiannya dan hal ini menyebabkan keadaan bertambah buruk.

f. Kerusakan Lahan
Sistem tanam kelapa sawit bersifat monokultur dan sistem tanam homogenitas ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lahan. Unsur hara jenis tertentu yang diserap terus menerus oleh kelapas sawit menyebabkan tidak seimbangnya unsur hara yang terkandung dalam tanah jika suatu saat lahan tersebut tidak dimanfaatkan lagi untuk kebun kelapa sawit. Kondisi lahan juga akan semakin memburuk dengan penggunaan pestisida baik paraquat ataupun glifosat yang digunakan pada kelap sawit dalam jangka panjang secara akumulatif dapat menyebabkan pencemaran pada lahan.

g. Krisis Air
Penelitian lingkungan yang dilakukan Universitas Riau menunjukkan bahwa satu batang kelapa sawit menyerap 12 liter air/hari atau 360 liter/bulan jadi dengan jarak tanam sawit 9mx9m, dalam 1 ha lahan terdapat sekitar 143 batang maka untuk lahan 1 ha per bulannya menyerap air 51480 liter. Bayangkan!
Padahal saat ini terdapat 5,4 juta ha lahan kelapa sawit. Kondisi ini pelan tapi pasti berdampak pada berkurangnya volume air tanah yang pada akhirnya menyebabkan krisis air.
Sebagai contoh, kasus krisis air di Riau. Luas total lahan kelapa sawit di Riau mencapai 1,8 juta ha, jika jumlah tanaman kelapa sawit sekitar 235 juta, dalam satu hari air yang terserap mencapai 2,8 milyar liter, pantasan PLN terus mengeluh kekurangan DEBIT(Q) AIR aneh kan.

Di Bengkalis, 4000 penduduknya mengalami kekurangan air bersih pada 3 bulan pertama tahun 2005. Kondisi ini akan bertambah buruk dalam 10-15 tahun ke depan mengingat 95% dari 4,3 juta ha hutan di Riau telah rusak yang diakibatkan salah satunya oleh konversi hutan menjadi kebun kelapa sawit.

h. Biodiversity Loss
Terjadinya deforestasi hutan baik akibat pembukaan lahan atau kegiatan lain praktis mengganggu populasi jenis spesies tanaman dan hewan yang hidup di dalamnya. Akibatnya, kehidupan mereka terancam dan akhirnya menuju pada kondisi biodiversity loss. Kondisi ini akan semakin parah jika konversi hutan untuk kelapa sawit terus dilakukan. Sebagai contoh, jumlah orang utan di Sumatera dalam 15 tahun terakhir berkurang 5000 ekor/tahunnya. Bahkan 90% habitat orang utan di sana telah hilang, dengan kondisi ini diperkirakan pada 12 tahun ke depan orang utan Sumatera akan punah.
Contoh lain di taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah tempat perlindungan sekitar 6000 orang utan Kalimantan, 380 ha dari 415 ribu ha lahannya digunakan sebagai lahan kelapa sawit oleh PT. Wana Sawit.

Penanggulangan Kerugian
Dari berbagai gambaran konflik akibat pengembangan industri kelapa sawit yang telah dipaparkan sebelumnya, predikat kelapa sawit sebagai anak emas harus dipikirkan ulang. Kerugian yang ditimbulkannya tergolong luas dan berat. Penanganan dampak negatif pengembangan kelapa sawit dalam skala besar –salah satunya untuk memenuhi kebutuhan BBN–harus menjadi skala prioritas. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya lingkungan alam namun juga lingkungan sosial. Tidak sedikit dari pemangku kepentingan, dalam hal ini masyarakat lokal yang dirugikan. Namun sayang, kondisi ini belum sepenuhnya disadari oleh pembuat kebijakan bahkan perusahaan sekalipun. Masih sedikit perusahaan yang mengalokasikan dananya untuk biaya sosial dan biaya lingkungan sebagai bentuk tanggungjawab perusahaan atas dampak negatif yang ditimbulkan dari bisnis kelapa sawit.

Mengapa tidak mengembangkan jarak pagar/rosella yang tentu saja lebih ramah lingkungandan bisa jadi tanaman obat?
Telah disinggung di depan bahwa potensi pengembangan BBN tidak hanya diperoleh dari pemanfaatan kelapa sawit saja tetapi masih ada bahan lain yang bisa diandalkan. Saat ini permintaan pasar dunia akan minyak jarak mentah atau CJO (Crude Jathropa Oil) mulai meningkat. Permintaan AS akan CJO Indonesia tiap bulannya mencapai 100 ribu ton atau negara Rumania, Inggris dan Perancis dengan permintaan mencapai 300 ribu ton/bulannya. Cukup menjanjikan juga bukan?
Pemberdayaan jarak sebagai bahan biodiesel juga lebih “ramah” lingkungan jika dibanding kelapa sawit , Pertama, dan terpenting, jarak (jathropa sp) bisa hidup dan tetap produktif meskipun ditanam di lahan kritis dan tandus baik di dataran rendah ataupun tinggi. Perlu digarisbawahi, pengembangan tanaman jarak pagar bisa dilakukan TANPA mengkonversi hutan. Apalagi luas lahan kritis di Indonesia saat ini 25 juta ha dan tidak belum dimanfaatkan. Keuntungan kedua, tanaman jarak tidak mempunyai hama sehingga tidak diperlukan pestisida dan perawatan khusus. Kondisi ini dapat mengurangi kerusakan lahan dan pencemaran lingkungan akibat pestisida.

Keuntungan secara ekonomis dari jarak juga dapat dibandingkan dengan kelapa sawit, dalam 1 hektare lahan bisa ditanam 2500 batang dan walaupun belum maksimal, jarak sudah dapat dipanen pada usia 9 bulan dengan harga biji jarak kering mencapai Rp 500 per Kg. Sedangkan produksi minyak mentah yang dihasilkan per hektarenya sama dengan kelapa sawit yaitu 5 ton/tahun. Biaya operasionalnya pun hanya berkisar 20%-25% dari pendapatan produksinya, lebih murah dari pada kelapa sawit dengan prosentase 40%-50%.

Lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan kelapa sawit. Kelapa sawit baru dapat dipanen pada usia 3 tahun dengan kesesuaian kondisi: lahan subur dan sistem pengairan yang baik, ketinggian lahan 1-400 meter dpl, temperature 22-23°C dengan curah hujan optimal 2000-3000 mm/tahun. Tingkat resistensi kelapa sawit terhadap hama juga rendah. Tanaman ini rentan terhadap hama tanaman mengingat ada 6 jenis hama yang menyerangnya, salah satunya, ulat setora sehingga perlu perawatan khusus dan teratur. Bahkan kelapa sawit merupakan jenis vegetasi yang boros air karena satu batangnya mampu menyerap 12 liter air/harinya.

Jika dilihat dari sifat tanaman dan budidayanya, jelas bahwa tanaman jarak jauh lebih menguntungkan. Lebih mudah merawat dan setiap orang bisa memberdayakannya. Ataupun untuk pemberdayaan dalam skala besar, dengan pemanfaatan 25 ha lahan kritis di Indonesia untuk tanaman jarak bahkan mendatangkan keuntungan ganda. Pertama, tentu saja minyak jarak mentah atau CJO, kedua, mendukung upaya reboisasi di Indonesia. Pemberdayaan dengan memanfaatkan lahan kritis tanpa harus mengkonversi hutan menjadi lahan industri juga menekan terjadinya pelbagai konflik sosial seperti perebutan lahan, tuntutan petani dan pekerja hingga praktek-praktek pelanggaran HAM. Lebih jauh lagi, keanekaragaman hayati pun bisa tetap terjaga. Keadaan yang sangat bertolak belakang dengan pemberdayaan industri kelapa sawit. Dengan kata lain, jarak lebih “ramah lingkungan” dibandingkan dengan kelapa sawit.
itu gambaran minyak ditas bumi riau
kalau kita coba menyelam kedalam bumi riau? maka kan kita temui
Gambar2 pori batuan
Abu-abu adalah pasir
Biru adalah air
Hitam adalah minyak

Eksplorasi atau pencarian minyak bumi merupakan suatu kajian panjang yang melibatkan beberapa bidang kajian kebumian dan ilmu eksak. Untuk kajian dasar, riset dilakukan oleh para geologis, yaitu orang-orang yang menguasai ilmu kebumian. Mereka adalah orang yang bertanggung jawab atas pencarian hidrokarbon tersebut.

Perlu diketahui bahwa minyak di dalam bumi bukan berupa wadah yang menyerupai danau, namum berada di dalam pori-pori batuan bercampur bersama air.
A. Kajian Geologi
Secara ilmu geologi, untuk menentukan suatu daerah mempunyai potensi akan minyak bumi, maka ada beberapa kondisi yang harus ada di daerah tersebut. Jika salah satu saja tidak ada maka daerah tersebut tidak potensial atau bahkan tidak mengandung hidrokarbon. Kondisi itu adalah:

* Batuan Sumber (Source Rock)
Yaitu batuan yang menjadi bahan baku pembentukan hidrokarbon. biasanya yang berperan sebagai batuan sumber ini adalah serpih. batuan ini kaya akan kandungan unsur atom karbon (C) yang didapat dari cangkang - cangkang fosil yang terendapkan di batuan itu. Karbon inilah yang akan menjadi unsur utama dalam rantai penyusun ikatan kimia hidrokarbon.

* Tekanan dan Temperatur
Untuk mengubah fosil tersebut menjadi hidrokarbon, tekanan dan temperatur yang tinggi di perlukan. Tekanan dan temperatur ini akan mengubah ikatan kimia karbon yang ada dibatuan menjadi rantai hidrokarbon.

* Migrasi
Hirdokarbon yang telah terbentuk dari proses di atas harus dapat berpindah ke tempat dimana hidrokarbon memiliki nilai ekonomis untuk diproduksi. Di batuan sumbernya sendiri dapat dikatakan tidak memungkinkan untuk di ekploitasi karena hidrokarbon di sana tidak terakumulasi dan tidak dapat mengalir. Sehingga tahapan ini sangat penting untuk menentukan kemungkinan eksploitasi hidrokarbon tersebut.

* Reservoar
Adalah batuan yang merupakan wadah bagi hidrokarbon untuk berkumpul dari proses migrasinya. Reservoar ini biasanya adalah batupasir dan batuan karbonat, karena kedua jenis batu ini memiliki pori yang cukup besar untuk tersimpannya hidrokarbon. Reservoar sangat penting karena pada batuan inilah minyak bumi di produksi.

* Perangkap (Trap)
Sangat penting suatu reservoar di lindungi oleh batuan perangkap. tujuannya agar hidrokarbon yang ada di reservoar itu terakumulasi di tempat itu saja. Jika perangkap ini tidak ada maka hidrokarbon dapat mengalir ketempat lain yang berarti ke ekonomisannya akan berkurang atau tidak ekonomis sama sekali. Perangkap dalam hidrokarbon terbagi 2 yaitu perangkap struktur dan perangkap stratigrafi.

Kajian geologi merupakan kajian regional, jika secara regional tidak memungkinkan untuk mendapat hidrokarbon maka tidak ada gunanya untuk diteruskan. Jika semua kriteria di atas terpenuhi maka daerah tersebut kemungkinan mempunyai potensi minyak bumi atau pun gas bumi. Sedangkan untuk menentukan ekonomis atau tidaknya diperlukan kajian yang lebih lanjut yang berkaitan dengan sifat fisik batuan. Maka penelitian dilanjutkan pada langkah berikutnya.

B. Kajian Geofisika
setelah kajian secara regional dengan menggunakan metoda geologi dilakukan, dan hasilnya mengindikasikan potensi hidrokarbon, maka tahap selanjutnya adalah tahapan kajian geofisika. Pada tahapan ini metoda - metoda khusus digunakan untuk mendapatkan data yang lebih akurat guna memastikan keberadaan hidrokarbon dan kemungkinannya untuk dapat di ekploitasi. Data-data yang dihasilkan dari pengukuran pengukuran merupakan cerminan kondisi dan sifat-sifat batuan di dalam bumi. Ini penting sekali untuk mengetahui apakan batuan tersebut memiliki sifat - sifat sebagai batuan sumber, reservoar, dan batuan perangkap atau hanya batuan yang tidak penting dalam artian hidrokarbon. Metoda-metoda ini menggunakan prinsip-prinsip fisika yang digunakan sebagai aplikasi engineering.

Metoda tersebut adalah:
1. Eksplorasi seismik
Ini adalah ekplorasi yang dilakukan sebelum pengeboran. kajiannya meliputi daerah yang luas. dari hasil kajian ini akan didapat gambaran lapisan batuan didalam bumi.
2. Data resistiviti
Prinsip dasarnya adalah bahwa setiap batuan berpori akan di isi oleh fluida. Fluida ini bisa berupa air, minyak atau gas. Membedakan kandungan fluida didalam batuan salah satunya dengan menggunakan sifat resistan yang ada pada fluida. Fluida air memiliki nilai resistan yang rendah dibandingkan dengan minyak, demikian pula nilai resistan minyak lebih rendah dari pada gas. dari data log kita hanya bisa membedakan resistan rendah dan resistan tinggi, bukan jenis fluida karena nilai resitan fluida berbeda beda dari tiap daerah. sebagai dasar analisa fluida perlu kita ambil sampel fluida didalam batuan daerah tersebut sebagai acuan kita dalam interpretasi jenis fluida dari data resistiviti yang kita miliki.
3. Data porositas
4. Data berat jenis

* Data berat jenis

Data ini diambil dengan menggunakan alat logging dengan bantuan bahan radioaktif yang memancarkan sinar gamma. Pantulan dari sinar ini akan menggambarkan berat jenis batuan. Dapat kita bandingkan bila pori batuan berisi air dengan batuan berisi hidrokarbon akan mempunyai berat jenis yang berbeda

minyak bumi bukan merupakan senyawa homogen, tapi merupakan campuran dari berbagai jenis senyawa hidrokarbon dengan perbedaan sifatnya masing-masing, baik sifat fisika maupun sifat kimia.

Proses pengolahan minyak bumi sendiri terdiri dari dua jenis proses utama, yaitu Proses Primer dan Proses Sekunder. Sebagian orang mendefinisikan Proses Primer sebagai proses fisika, sedangkan Proses Sekunder adalah proses kimia. Hal itu bisa dimengerti karena pada proses primer biasanya komponen atau fraksi minyak bumi dipisahkan berdasarkan salah satu sifat fisikanya, yaitu titik didih. Sementara pemisahan dengan cara Proses Sekunder bekerja berdasarkan sifat kimia kimia, seperti perengkahan atau pemecahan maupun konversi, dimana didalamnya terjadi proses perubahan struktur kimia minyak bumi tersebut.
Dari gambaran proses pengeboran miyak bumi/fosil jelas memperlihatkan kepada kita bahwa ketika proses pengeborang dan pengambilan minyak posil tersebuat akan meninggalkan pori2 kosong di bawah ini, logika nya ketika terjadi kekosongan di pori2 bumi akibat adanya tekanan gaya grafitasi makan ruang kosong tersebut akan runtuh karna terjadi patahan2 pada struktur lempengan bumi tersebut.
Hal inilah yang amat mencemaskan kita yang bermukim di atas permukaan bumi.
Akibat patahan tersebut akan di tandai terjadinya gempa2 lokal dan akhir nya pada satu titik kejenuhan daya dukung tanah yang memang tidak mampu lagi menahan nya akibat rusak nya struktur tanah, baik oleh kritis lahan permukaan akibat sawit.
Di tambah dari hasil akhir proses pengeboran minyak bumi/fosil"maka sulit bagi kita tuk membayangkan dapak buruk akan terjadi"di negara berkembang solusi tuk melakukan penguatan daya dukung tanah tersebut maka digunakan metode "water enjection"(menyuntik kan hasil samping pengeboran(berupa air campur lumpur) itu kembali kepori2 tanah dan bebatuan, tapi sedikit mengingatkan dewasa ini di negri maju tlah lama meninggalkan metode ini.
Ada indikasi penyebab terjadinya bencana lumpur lampindo terindikasikan akibat kegagalan konstruksi.. bukan akibat bencana alam murni"bukankah tuhan telah mengingat kan pada umat manusia, tak kuturunkan bencana atau musibah melainkan ulah tangan manusia itu sendiri"jadi tuk menghambat terjadi bencana tersebut solusi "preventif"(pencegahan dini) nya adalah dengan melakukan penghijauan hutan kembali, walau bencana tak mungkin terelak tapi mesti ada upaya manusia tuk mencegah nya, melalui penanamam pohon kembali.serta penghijauan hutan dan alam ini, karna kita mesti bersahabat dengan alam kalo tidak alam siap membinasakan umat manusia.
dengan rasa hormat dan permintaan maaf yang mendalam bukanlah tulisan ini tuk memprovokasi dan membuat kita semua cemas, tapi tulisan ini sebagai upaya peringatan bagi kita semua.karna bencana kehancuran tersebut memang sudah di depan mata kita dan tuhan jua berulang kali mengingatkan pada kita"afala'takqilu"(apakah kau tak berfikir)semoga kita dapat mencegah nya semua tak terlepas dari upaya kemerdekaan umat manusia(iktiar) dan keniscayaan universal (takdir)wahai saudara-saudara ku di bumi kalau kita hanya berdiam diri maka saat nya kita menanti detik2 kehancuran itu.

RASYID RIDHO Sr.
Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Riau
Kader HmI CABANG PEKANBARU

cool

cool
civil

KITA

KITA